Opini Oleh: Edi
pimpinan Redaksi Berita Global News. Com
Sebuah potret satir yang beredar di media sosial kembali menggugah kesadaran publik: seorang sosok bertopeng membawa bendera merah putih dengan tulisan menyayat hati, “Galak Sama Rakyat, Jinak Sama Koruptor. Siapa Lagi Kalau Bukan…?”
Ungkapan itu terasa begitu relevan dengan kondisi bangsa hari ini. Di tengah jargon penegakan hukum tanpa pandang bulu, kenyataannya rakyat kecil masih menjadi sasaran empuk tindakan represif aparat, sementara para pejabat dan koruptor justru diperlakukan dengan kelembutan, seakan mereka anak emas negara.
Rakyat kecil yang sekadar berdagang di trotoar, mencuri demi mengisi perut, atau menyuarakan aspirasi di jalanan kerap berhadapan dengan sikap keras aparat.
Mereka ditindak cepat, tanpa kompromi. Namun, bandingkan dengan pejabat korup yang menguras ratusan miliar, mereka bisa tetap tersenyum di pengadilan, menerima vonis ringan, bahkan diduga mendapat fasilitas mewah di balik jeruji.
Fenomena ini menunjukkan betapa hukum di negeri ini kerap dipertontonkan bukan sebagai alat keadilan, melainkan alat kekuasaan. Pepatah lama “Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke Atas” seolah tidak pernah kehilangan relevansinya.
Ironi terbesar adalah ketika pemerintah masih berani mengumandangkan slogan “Negara Hukum” sementara praktik di lapangan justru lebih menyerupai “Negara Kekuasaan”. Rakyat dipaksa tunduk, sementara elite dibiarkan leluasa.
Pertanyaan retoris dalam gambar satir itu—“Siapa Lagi Kalau Bukan…?”—sesungguhnya adalah tamparan keras bagi seluruh penyelenggara negara.
Karena pada akhirnya, siapa lagi yang selama ini jinak terhadap koruptor, jika bukan mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan?
Kini, dengan gelombang unjuk rasa yang merebak di berbagai daerah, pesan rakyat seharusnya jelas: mereka sudah muak dengan hukum yang pilih kasih, muak dengan aparat yang galak pada rakyat, tetapi jinak pada koruptor.
Jika pemerintah terus menutup mata dan telinga, kepercayaan publik akan semakin runtuh. Sebab rakyat tidak buta. Mereka tahu siapa yang diperlakukan galak, dan siapa yang terus dimanja.
Dan ketika rakyat sudah bersatu untuk bersuara, sejarah telah membuktikan: tak ada kekuasaan yang bisa bertahan selamanya di atas ketidakadilan. *(Red)