Beritaglobalnews.com – Setiap bulan Agustus, merah putih berkibar di setiap sudut negeri, menjadi simbol pengorbanan para pahlawan yang merebut kemerdekaan dari penjajahan. Namun, belakangan ini muncul fenomena yang memicu perdebatan: bendera-bendera dengan motif populer seperti bendera One Piece turut dikibarkan di tengah perayaan Hari Kemerdekaan.
Sebagian orang menilai, ini adalah bentuk kreativitas generasi muda. Dunia populer termasuk anime memang memiliki daya tarik besar bagi anak muda. Mengibarkan bendera tokoh fiksi mungkin dimaksudkan sebagai ekspresi kebebasan berekspresi dalam suasana perayaan yang meriah.
Namun, di sisi lain, kita tak boleh lupa bahwa 17 Agustus adalah momen sakral. Bendera merah putih bukan sekadar kain dua warna, melainkan simbol persatuan dan hasil perjuangan berdarah-darah. Menggantinya, atau menandinginya dengan simbol-simbol fiksi di momen resmi kemerdekaan, berpotensi mengaburkan makna sejarah dan menurunkan kesakralan upacara bendera.
Perlu diingat, bendera negara memiliki aturan hukum yang jelas, diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pasal-pasalnya tegas menyebutkan bahwa bendera merah putih harus diperlakukan dengan hormat, dan penggunaannya tidak boleh dicampuradukkan dengan simbol lain dalam momen kenegaraan.
Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momentum memperkuat identitas nasional, bukan sekadar ajang hiburan atau tren budaya populer. Kreativitas memang penting, tetapi harus disalurkan di tempat dan waktu yang tepat. Generasi muda bisa saja memadukan unsur hiburan dengan patriotisme misalnya melalui lomba, pawai, atau festival tematik tanpa menggeser posisi merah putih sebagai bendera utama.
Kemerdekaan ini kita nikmati bukan karena bajak laut fiksi, melainkan karena pejuang-pejuang nyata yang berani mempertaruhkan nyawa. Menghormati bendera merah putih di Hari Kemerdekaan berarti menghargai darah dan air mata mereka. Maka, mari kita jaga agar merah putih tetap berkibar paling tinggi, sementara bendera-bendera kreatif bisa tetap ada namun di luar prosesi sakral kenegaraan. (*Opini Red).